KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke
Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyusun makalah. Makalah ini membahas “Berita yang
terkait dengan Manusia dan Penderitaan”
Dalam penyusunan
makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan
bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar
– besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari
bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis
harapkan untuk kesempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita
sekalian.
Depok, 29 Mei 2014
Penulis
(
Muhammad Abi Arifianto)
Indonesia,
Darurat Kekerasan Seksual pada Anak
Oleh: Ayu Rahayu, Mahasiswi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Universitas Padjadjaran, Bandung
SAAT ini Indonesia diramaikan dengan kasus kekerasan seksual
terhadap anak dibawah umur. Di awali dengan terungkapnya kasus pedofilia di
Jakarta International School (JIS), setelah itu satu persatu kasus terungkap di
beberapa daerah di Indonesia, ibarat fenomena bola es yang semakin lama semakin
membesar. Kasus kekerasan seksual ini sebenarnya bukan kali pertama terjadi di
Indonesia, selalu ada setiap tahunnya, bahkan terjadi peningkatan kasus.
Korbannya kalangan anak umur 5 hingga 13 tahun, dan
dilakukan oleh orang orang terdekat baik tetangga, guru, bahkan keluarga
sendiri.Komnas Anak mencatat, jenis kejahatan anak tertinggi sejak tahun 2007
adalah tindak sodomi terhadap anak. Dari 1.992 kasus kejahatan anak yang masuk
ke Komnas Anak tahun itu, sebanyak 1.160 kasus atau 61,8 persen, adalah kasus
sodomi anak (Kompas.com, 10/4/2008).
Pada tahun 2009 ada 1.998 kekerasan meningkat pada tahun
2010 menjadi 2.335 kekerasan (tempointeraktif.com, 25/3/2011). Pada tahun 2011
ada 2.509 laporan kekerasan dan 59% nya adalah kekerasan seksual. Dan pada
tahun 2012 Komnas PA menerima 2.637 laporan yang 62% nya kekerasan seksual
(bbc,18/1). Tahun 2013, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Bareskrim Mabes
Polri mencatat sepanjang tahun 2013 sekurangnya terjadi 1600 kasus asusila
mulai dari pencabulan hingga kekerasan fisik pada anak-anak.
Adanya kasus ini berdampak buruk terhadap kondisi korban
(anak) seperti dampak psikologis, emosional, fisik dan sosialnya meliputi
depresi, gangguan stres pasca trauma, kegelisahan, gangguan makan, rasa rendah
diri yang buruk, kekacauan kepribadian. Yang paling membahayakan adalah
perubahan perilaku seksual, yang kemungkinan besar akan terjadi setelah dewasa
korban akan menjadi pelaku kejahatan seksual akibat trauma yang pernah
dialaminya sejak kecil.
Dr. Asrorun Niam Sholeh, Ketua Divisi Sosialisasi KPAI,
menyebut beberapa faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual terhadap
anak.Pertama, faktor moralitas dan rendahnya internalisasi ajaran agama serta
longgarnya pengawasan di level keluarga dan masyarakat.Kedua, faktor
permisifitas dan abainya masyarakat terhadap potensi pelecehan seksual.Ketiga,
faktor kegagapan budaya dimana tayangan sadisme, kekerasan, pornografi, dan
berbagai jenis tayangan destruktif lainnya ditonton, namun minim proses
penyaringan pemahaman.
Keempat, faktor perhatian orang tua dan keluarga yang
relatif longgar terhadap anaknya dalam memberikan nilai-nilai hidup yang
bersifat mencegah kejahatan pelecehan seksual. (lihat, arrahmah.com,
26/2/2013). Ditambah lagi hukuman bagi pelaku kekerasan seksual yang tidak bisa
memberikan efek jera.
Pelaku tindak pencabulan anak di bawah umur umumnya akan
dijerat Pasal 81 dan 82 UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dengan
hukuman antara 3 sampai 10 tahun penjara. Sementara dalam KUHP, tindak
pemerkosaan diancam hukuman penjara maksimal 15 tahun penjara.Melihat banyaknya
faktor penyebab terjadinya kasus kekerasan seksual ini, dapat disimpulkan bahwa
kasus ini bukan kasus yang sepele namun sudah ditingkat darurat yang mesti
segera diselesaikan hingga keakar permasalahan, ketika kita melihat faktor
hukum yang kurang tegas dan tidak menimbulkan efek jera terhadap tersangka,
maka solusinya bukan hanya dengan menambah jumlah kurungan atau ketika melihat
bertambahnya korban setiap tahunnya solusinya bukan dengan membentuk sebuah LSM
atau lembaga yang dapat mengurangi tindak kekerasan seksual pada anak.
Karena upaya-upaya tersebut tidak akan menyelesaikan
permasalahan yang sudah crowded selama sistem yang dipakai di Indonesia
masih berdasarkan asas pemisahan agama dengan kehidupan, yang salah satu
prilaku individu penganutnya adalah kebebasan bertingkah laku, dan salahnya
paradigma berpikir bahwa pelaku dulunya merupakan korban sehingga penyimpangan
yang dilakukan adalah sebuah hal yang wajar akibat trauma.Memberantas tindak
pedofilia dan kekerasan seksual secara tuntas tidak bisa dilakukan secara
parsial. Akan tetapi hanya bisa dilakukan secara sistemis ideologis. Hal itu
tidak lain dengan menerapkan syariah islamiyah secara total melalui
negara.Secara mendasar, syariah Islam mengharuskan negara untuk senantiasa
menanamkan akidah Islam dan membangun ketakwaan pada diri rakyat. Negara juga
berkewajiban menanamkan dan memahamkan nilai-nilai norma, moral, budaya,
pemikiran dan sistem Islam kepada rakyat.
Hal itu ditempuh melalui semua sistem, terutama sistem
pendidikan baik formal maupun non formal dengan beragam institusi, saluran dan
sarana. Dengan begitu, maka rakyat akan memiliki kendali internal yang
menghalanginya dari tindakan kriminal termasuk kekerasan seksual dan pedofilia.
Rakyat juga bisa menyaring informasi, pemikiran dan budaya yang merusak.
Penanaman keimanan dan ketakwaan juga membuat masyarakat tidak didominasi oleh
sikap hedonis, mengutamakan kepuasan materi dan jasmani. Negara juga tidak akan
membiarkan penyebaran pornografi dan pornoaksi menyebar di tengah masyarakat.
Sebaliknya di masyarakat akan ditanamkan kesopanan dan nilai-nilai luhur.
Namun jika dalam sistem islam masih ada yang melakukan
kejahatan tersebut, maka sistem ‘uqubat Islam akan menjadi benteng yang bisa
melindungi masyarakat dari semua itu. Dengan dijatuhkannya sanksi hukum yang
berat yang bisa memberikan efek jera bagi pelaku kriminal dan mencegah orang
lain melakukan kejahatan serupa. Pelaku pedofilia dalam bentuk sodomi akan
dijatuhi hukuman mati. Begitupun pelaku homoseksual. Sehingga perilaku itu
tidak akan menyebar di masyarakat. Hukuman mati itu didasarkan kepada sabda
Rasul saw:“Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth
(homoseksual) maka bunuhlah pelaku (yang menyodomi) dan pasangannya (yang
disodomi).” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi)
Dalam Ijmak sahabat menyatakan bahwa hukuman bagi pelaku
homoseksual adalah hukuman mati, meski diantara para sahabat berbeda pendapat
tentang cara hukuman mati itu. Hal itu tanpa dibedakan apakah pelaku sudah
menikah (muhshan) atau belum pernah menikah (ghayr muhshan).Jika kekerasan
seksual itu bukan dalam bentuk sodomi (homoseksual) tetapi dalam bentuk
perkosaan, maka pelakunya apabilasudah menikah akan dirajam hingga mati,
sedangkan jika belum menikah akan dijilid seratus kali. Jika pelecehan seksual
tidak sampai tingkat itu, maka pelakunya akan dijatuhi sanksi ta’zir. Bentuk
dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad khalifah dan qadhi.Dengan
demikian, memberantas pedofilia dan menyelamatkan masyarakat dari kekerasan
seksual termasuk kepada anak, jika serius harus dengan jalan mencampakkan ideologi
dan sistem sekuler liberal demokrasi. Berikutnya menerapkan syariah Islam
secara total di bawah naungan sistem khilafah.Berikut adalah dampak psikologis
yang dialami para korban pemerkosaan seperti dijelaskan Psikolog Alissa Wahid.
1. Menyalahkan diri sendiri
Self blaming atau menyalahkan diri sendiri merupakan cara yang dilakukan
seseorang ketika menghadapi sebuah masalah, dengan menyalahkan bahkan menghukum
diri sendiri. Inilah yang kemudian juga menjadi pemicu kemungkinan angka bunuh
diri meningkat.
2. Merasa 'rusak'
2. Merasa 'rusak'
Alissa mengungkapkan bahwa korban
pemerkosaan mengalami penurunan rasa percaya diri. "Tak jarang korban
pemerkosaan merasa tak memiliki rasa percaya diri karena merasa dirinya seperti
barang rusak," ujarnya.
Rasa ini berkaitan dengan masa depan
korban, khususnya wanita yang lebih memikirkan pasangan hidup. Ketakutan tidak
ada pria yang menginginkannya lagi karena statusnya sebagai korban pemerkosaan.
3. Menarik diri dari lingkungan
3. Menarik diri dari lingkungan
Perubahan perilaku dalam kehidupan
sehari-hari, seperti menarik diri dari lingkungan, pendiam, dapat menjadi tanda
yang terlihat secara kasat mata.
"Korban umumnya merasa takut
untuk mengatakan tentang kejadian (pemerkosaan) yang sebenarnya, kemudian
muncul sebuah gejala depresi ini," kata Alissa.
Tak hanya itu, mereka juga takut
dihakimi oleh orang-orang di sekitarnya yang akhirnya menimbulkan trauma.
Perlu Dilakukan
Guna mencegah terjadinya dampak yang
tak diinginkan tersebut, sebaiknya orangtua atau orang terdekat korban
melakukan hal berikut ini:
- Ketika korban mengalami perubahan
perilaku, coba tanyakan perlahan dengan menggali informasi dari dalam dirinya.
Jika tak berhasil, mintalah pertolongan pada orang terdekat yang dipercaya oleh
anak.
- Saat dalam kondisi ini, korban
pada dasarnya membutuhkan dukungan atau dorongan. Jangan menyalahkan atau
berbicara dengan nada tinggi, karena dapat menimbulkan efek buruk pada korban.
(eh)
Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa
atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual. Bentuk
pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk
melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), memberikan paparan yang tidak
senonoh dari alat kelamin untuk anak, menampilkan pornografi untuk anak,
melakukan hubungan seksual terhadap anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin
anak (kecuali dalam konteks non-seksual tertentu seperti pemeriksaan medis),
melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik (kecuali dalam konteks non-seksual
seperti pemeriksaan medis), atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.
Efek kekerasan seksual terhadap anak antara lain depresi,
gangguan
stres pascatrauma, kegelisahan, kecenderungan untuk menjadi korban lebih lanjut pada masa
dewasa, dan dan cedera fisik untuk anak di antara masalah lainnya. Pelecehan
seksual oleh anggota keluarga adalah bentuk inses, dan
dapat menghasilkan dampak yang lebih serius dan trauma psikologis jangka panjang, terutama dalam kasus inses orangtua.
Di Amerika Utara, sekitar 15% sampai 25% wanita dan 5% sampai 15% pria yang mengalami
pelecehan seksual saat mereka masih anak-anak. besar pelaku pelecahan seksual
adalah orang yang dikenal oleh korban mereka; sekitar 30% adalah keluarga dari
si anak, paling sering adalah saudara laki-laki, ayah, paman, atau sepupu;
sekitar 60% adalah kenalan lainnya seperti 'teman' dari keluarga, pengasuh,
atau tetangga, orang asing adalah pelanggar sekitar 10% dalam kasus
penyalahgunaan seksual anak. Kebanyakan pelecehan seksual anak dilakukan oleh
laki-laki; studi menunjukkan bahwa perempuan melakukan 14% sampai 40% dari
pelanggaran yang dilaporkan terhadap anak laki-laki dan 6% dari pelanggaran
yang dilaporkan terhadap perempuan. Sebagian besar pelanggar yang pelecehan
seksual terhadap anak-anak sebelum masa puber adalah pedofil,
meskipun beberapa pelaku tidak memenuhi standar diagnosa klinis untuk
pedofilia.
Berdasarkan hukum, "pelecehan seksual anak"
merupakan istilah umum yang menggambarkan tindak kriminal dan sipil di mana orang
dewasa terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak di bawah umur atau
eksploitasi anak di bawah umur untuk tujuan kepuasan seksual. Asosiasi
Psikiater Amerika menyatakan bahwa "anak-anak tidak bisa menyetujui
aktivitas seksual dengan orang dewasa", dan mengutuk tindakan seperti itu
oleh orang dewasa: "Seorang dewasa yang terlibat dalam aktivitas seksual
dengan anak adalah melakukan tindak pidana dan tidak bermoral yang tidak pernah
bisa dianggap normal atau perilaku yang dapat diterima secara sosial.
Faktor penyebab
Faktor penyebab pelanggar
seksual anak tidak diketahui secara meyakinkan.Pengalaman pelecehan seksual
sebagai seorang anak yang sebelumnya dianggap sebagai faktor risiko yang amat
kuat, tetapi penelitian tidak menunjukkan hubungan kausal, karena sebagian
besar anak-anak dilecehkan secara seksual tidak tumbuh menjadi seorang pelaku
pada saat telah dewasa, juga tidak ada mayoritas pelaku dewasa yang dilaporkan
mengalami pelecehan seksual masa kanak-kanak. Kantor Akuntabilitas Pemerintah Amerika
Serikat menyimpulkan "adanya sebuah siklus pelecehan seksual yang
tidak bisa dipungkiri."
Sebelum tahun 1996, ada kepercayaan
yang lebih besar dalam teori tentang "siklus kekerasan," karena
sebagian besar yang dilakukan peneliti adalah retrospektif-pelaku ditanya
apakah mereka pernah mengalami pelecehan sebelumnya. Bahkan sebagian besar
studi menemukan bahwa sebagian besar pelaku seksual dewasa mengatakan mereka
tidak mengalami kekerasan seksual selama masa kanak-kanak, namun studi
menghasilkan hasil yang bervariasi dalam hal perkiraan mereka persentase pelaku
seperti yang telah disalahgunakan dari 0 hingga 79 persen. Lebih baru
prospektif longitudinal penelitian-mempelajari
anak-anak dengan kasus-kasus pelecehan seksual didokumentasikan dari waktu ke
waktu untuk menentukan berapa persen yang menjadi pelaku setelah dewasa-telah
menunjukkan bahwa teori siklus kekerasan bukan penjelasan yang memadai untuk
mengapa orang menganiaya anak-anak. Pelanggaran dapat difasilitasi oleh distorsi
kognitif pelaku, seperti minimalisasi pelecehan, menyalahkan korban, dan alasan.
Dampak Pemberitaan Media terhadap Kejahatan yang Melibatkan Anak Sebagai Korban
Posisi anak dalam sebuah kejatahan
Terdapat dua posisi anak dalam sebuah kejahatan yaitu anak sebagai korban dan anak sebagai pelaku. Jika melihat dari sisi korban tentu bahwa anak merupakan salah satu kelompok yang rentan mengalami kejahatan disamping perempuan. Adapun kejahatan yang seringkali menimpa anak-anak adalah pekerja anak, people smugling, penganiayaan, asusila dan segala bentuk child abuse yang dialami anak . Namun terdapat suatu pengecualian ketika anak terlibat dalam kasus kejahatan yang sangat sensitif seperti kejahatan asusila (pemerkosaan, sodomi, dan pelacuran paksa).
Dalam kasus ini tentunya
diperlukan sebuah perhatian khusus dengan mengkaji masalah-masalah yang
dihadapi sang anak. Jika dilihat dari sisi pelaku tentunya belum sepantasnya
jika tindakan anak tersebut dikatakan sebagai kejahatan. Karena anak masih
tergolong dibawah umur 18 tahun maka segala tindakan kejahatan yang dilakukan
merupakan sebuah kenakalan akibat salahnya sosialisasi dalam dirinya.[1] Namun
sayangnya kajian tentang anak sebagai pelaku kejahatan ini kurang mendapat
perhatian dari kriminolog karena tidak mengalami masalah yang serius seperti
yang dialami anak sebagai korban.
Seperti paparan di atas,
kajian tentang korban anak dalam sebuah kejahatan telah mendapat perhatian
lebih oleh para kriminolog terutama menyangkut kasus-kasus yang sensitif. Dalam
kasus yang sensitif seperti kasus pemerkosaan, sodomi, dan kasus asusila lain
merupakan kasus yang tidak biasa. Kerugian yang dialami anak pun sangat
kompleks yang dapat diibaratkan sebagai “sudah jatuh tertimpa tangga pula”.
Kerugian yang dialami tidak hanya kerugian fisik, namun juga psikis dan
ekonomi. Fisik ditunjukkan dengan adanya kerusakan salah satu anggota tubuh
akibat kejahatan yang dialami. Trauma adalah kerugian psikis yang paling berat
dirasakan oleh anak karena berdampak jangka panjang yang dirasakan sebagai
pengalaman hidup menyakitkan yang akan selalu teringat . Selain itu kerugian
ekonomi dimana setiap anak memiliki hak untuk memenuhi kebutuhannya seperti
pendidikan, pangan, sandang dan lain-lain. Namun semua itu hilang karena label
yang diterima anak bahwa dalam kenyataan korban asusila anak cenderung sulit
untuk berinteraksi dengan masyarakat apalagi untuk memenuhi kebutuhannya.
Bagaimana dengan
dampak pemberitaan media dengan kejahatan yang dialami anak?
Pemberitaan media akan kejahatan sangatlah berpengaruh kepada anak yang menjadi korban. Adapun pengaruh tersebut juga akan memunculkan dua dampak yaitu dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif tentunya diharapkan dengan adanya pemberitaan media, masyarakat akan muncul rasa empati dalam dirinya untuk tergerak membantu korban. Selain itu jika dilihat dari segi masyarakat juga akan menambah sikap pencegahan kejahatan supaya kejahatan serupa tidak terjadi lagi.
Pemberitaan media akan kejahatan sangatlah berpengaruh kepada anak yang menjadi korban. Adapun pengaruh tersebut juga akan memunculkan dua dampak yaitu dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif tentunya diharapkan dengan adanya pemberitaan media, masyarakat akan muncul rasa empati dalam dirinya untuk tergerak membantu korban. Selain itu jika dilihat dari segi masyarakat juga akan menambah sikap pencegahan kejahatan supaya kejahatan serupa tidak terjadi lagi.
Namun yang menjadi konsen
utama disini adalah dampak negatif dari pemberitaan kejahatam terhadap korban
anak sendiri. Tanpa disadari, kadang media terkadang terlalu berlebihan dalam
memberitakan korban anak tersebut sehingga masyarakat tahu bahwa anak tersebut
telah menjadi korban asusila. Pemberitahuan tersebut secara jelas menyebutkan
nama, perlakuan yang diterima, asal sekolah, keluarga, dan lain-lain. Jika
memandang dari dampak negatif, pemberitaan ini akan memperkuat label masyarakat
terhadap anakt tersebut bahwa anak tersebut sudah “tidak baik” lagi. Label
masyarakat seperti sudah tidak perawan lagi, anak nakal, anak liar dan
sebagainya pastia akan menempel pada anak tersebut, padahal secara realita anak
tersebut adalah korban yang tidak mengetahui apa-apa. Akhirnya anak
terviktimisasi karena segala kesalahan yang dilakukan pelaku dewasa pada
akhirnya ditanggung oleh korban anak.
Bagaimana cara
meminimalisir dampak negatif tersebut?
Sebenarnya upaya-upaya untuk meminimalisir dampat negatif tersebut sudah dilaksanakan dengan membuat sebuah kode etik jurnalisitik yang berisi panduan-panduan dalam membuat suatu pemberitaan termasuk pemberitaan kasus kejatahan yang dialami anak. Panduan tersebut berisi batasan-batasan yang harus dipatuhi oleh setiap jurnalis dalam membuat berita. Adapun batasan tersebut seperti merahasiakan identitas korban, mewawancarai dengan cara-cara yang disukai anak, tidak boleh mewawancarai ketika korban sedang trauma, harus mendapatkan ijin dari orang tua dan masih terdapat beberapa batasan agar dapat membuat berita terkait kejahatan anak. Di Indonesia sebenarnya sudah membut kode etik jurnalistik yang dibuat oleh beberapa ikatan jurnalistik.
Sebenarnya upaya-upaya untuk meminimalisir dampat negatif tersebut sudah dilaksanakan dengan membuat sebuah kode etik jurnalisitik yang berisi panduan-panduan dalam membuat suatu pemberitaan termasuk pemberitaan kasus kejatahan yang dialami anak. Panduan tersebut berisi batasan-batasan yang harus dipatuhi oleh setiap jurnalis dalam membuat berita. Adapun batasan tersebut seperti merahasiakan identitas korban, mewawancarai dengan cara-cara yang disukai anak, tidak boleh mewawancarai ketika korban sedang trauma, harus mendapatkan ijin dari orang tua dan masih terdapat beberapa batasan agar dapat membuat berita terkait kejahatan anak. Di Indonesia sebenarnya sudah membut kode etik jurnalistik yang dibuat oleh beberapa ikatan jurnalistik.
Salah satunya adalah Aliansi
Jurnalis Independen (AJI), sebagai salah satu organisasi profesi jurnalis, telah
merumuskan Kode Etik sendiri. AJI bersama sejumlah organisasi jurnalis lain
secara bersama-sama juga telah menyusun Kode Etik Jurnalis Indonesia, yang
diharapkan bisa diberlakukan untuk seluruh jurnalis Indonesia (Arismunandar,
2011). Adapun tujuan utama adanya kode etik jurnalistik ini pada dasarnya
adalah selain untuk meminimalisir dampak buruk atas pemberitaan, juga
diharapkan media menjadi lebih sensitif dan bertanggung jawab (Cote &
Simpson, 2000). Berikut merupakan salah satu contoh kekerasan pada anak.
Bermodal ancaman, siswa SMP di Palembang sodomi 5 anak SD
Peristiwa sodomi itu sendiri terjadi sejak tahun 2013 lalu. Namun korbannya baru mengadu kepada orangtuanya belakangan ini. Bagaimana kasus tersebut terjadi? Berikut empat fakta kasus sodomi yang terjadi di Palembang tersebut:
1.Pelaku mengancam korban
Merdeka.com - AN (14) pelajar SMP di Palembang dilaporkan ke polisi karena mencabuli lima murid SD. AN dilaporkan oleh orangtua salah satu korban ke SPKT Polresta Palembang, Senin (19/5). Menurut orangtua korban, DW (32), peristiwa tersebut terjadi pada 2013 lalu. Hal itu diketahuinya setelah mendapat laporan dari warga. Setelah diusut, anaknya mengaku disodomi pelaku di bawah ancaman akan dipukul jika tidak diikuti kemauannya."Anak saya diancam dipukul jika tidak dituruti," ungkap DW.2.korban sudah 20 kali disodomi
Merdeka.com - DW (32) melaporkan AN (14) ke SPKT Polresta Palembang, Senin (19/5) karena dugaan sodomi yang dilakukan kepada anaknya. Peristiwa tersebut terjadi pada 2013 lalu.Terhitung sudah 20 kali anaknya yang masih duduk di bangku kelas VI SD itu menjadi korban sodomi pelaku. Hal itu diketahuinya setelah mendapat laporan dari warga. Setelah diusut, anaknya mengaku disodomi pelaku di bawah ancaman akan dipukul jika tidak diikuti kemauannya.
3.Dari lima, baru satu korban melapor
Merdeka.com - Selain anaknya, DW (32) mengaku ada empat anak SD lainnya yang juga menjadi korban AN (14) Namun, mereka belum melapor. Mereka adalah TR (siswi kelas I SD), AR (kakak TR),? FA (siswa kelas IV SD) dan PK (siswa kelas IV SD)."Untuk sementara saya dulu yang melapor karena orangtua mereka masih berembuk," kata dia.Kasat Reskrim Polresta Palembang Kompol? Djoko Julianto membenarkan laporan korban yang tertera dalam LP/B-1318/V/2014/Sumsel/Resta. "Kita minta korbannya untuk visum terlebih dahulu. Setelah itu baru kita periksa terlapor," tukasnya.
4.Disodomi di depot kayu
Merdeka.com - Karena selalu mendapat ancaman, korban harus mengikuti nafsu bejat pelaku. Terhitung sudah 20 kali pelaku menyodomi korbannya."Sudah 20 kali anak saya disodomi. Pelaku selalu menunggunya usai pulang sekolah. Karena anak saya sering main ke rumah neneknya," ujar orangtua korban, DW (32)."Dia lakukan di depot kayu milik neneknya pada 2013 lalu. Anak saya diancam dipukul jika tidak dituruti," ungkap DW.
Sumber :
sumber
Halo semuanya,
BalasHapusSaya Mr Mohammad Gandi pemberi pinjaman swasta yang memberikan kesempatan seumur hidup untuk semua jenis pinjaman. Apakah Anda memerlukan pinjaman mendesak untuk membayar kembali utang Anda atau apakah Anda memerlukan pinjaman modal untuk meningkatkan bisnis Anda? Apakah Anda ditolak oleh bank dan lembaga keuangan lainnya? Apakah Anda membutuhkan konsolidasi atau pinjaman hipotek? Kami meminjam uang kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan keuangan, yang memiliki kredit macet atau yang membutuhkan uang untuk membayar tagihan dan berinvestasi dalam bisnis dengan suku bunga rendah 2% dengan syarat dan ketentuan yang jelas dan dapat dimengerti. 100% Dijamin.
Kirimi kami email ke: (pattersonnullloanfirm@gmail.com) untuk mendaftar